Mengenal satria nasional sanggup dijadikan contoh bagi generasi bangsa semoga termotivasi untuk mengikuti nilai-nilai usaha para pahlawan. Dengan demikian dibutuhkan generasi bangsa ini nantinya turut membentuk ketahanan nasional. Seperti yang sering kita dengar dan kita baca, “Bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Dan salah satu cara menghargai satria ialah dengan membaca kisah hidup dan perjuangannya.
Ada berbagai satria Indonesia. Salah satunya ialah Cut Nyak Dhien, satria nasional dari Aceh. Beliau ialah pejuang perempuan yang tangguh. Berikut ulasan perihal profil dan biografi Cut Nyak Dhien.
Biodata Cut Nyak Dhien
Nama : Cut Nyak DhienLahir : Aceh Besar, 1848
Wafat : Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908
Orang Tua : Teuku Nanta Seutia
Suami : Ibrahim Lamnga, Teuku Umar
Anak : Cut Gambang
Biografi Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien dilahirkan di Lampadang, Kerajaan Aceh pada tahun 1848. Ia terlahir dari kalangan keluarga bangsawan. Ayahnya berjulukan Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang, yang juga keturunan dari Datuk Makhudum Sati. Ibu Cut Nyak Dhien ialah putri uleebalang Lampagar. Cut Nyak DhienPada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien memperoleh pendidikan pada bidang agama yang dididik oleh orang bau tanah ataupun guru agamanya serta pendidikan rumah tangga yaitu memasak, melayani suami, dan kehidupan sehari-hari.
Di masa kecil, Cut Nyak Dhien ialah gadis yang anggun sehingga banyak pria yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka mempunyai satu anak laki-laki.
Perang Aceh
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan eksklusif sanggup menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler ketika itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwiraPerang Aceh pertama terjadi pada tahun 1873-1874 dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya sanggup dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873.
Perang Aceh kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai sentra pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bab dari Kerajaan Belanda.
Perang Aceh ketiga (1881-1896). Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah dan berlangsung hingga tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah komando Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Pernikahan Cut Nyak Dhien dengan Teuku Umar
Darah pejuang menggelora di dalam diri Cut Nyak Dhien semenjak final hidup suami pertamanya, Teuku Cik Ibrahim Lamnga gugur diterjang peluru Belanda pada tahun 1878 di sebuah pertempuran di kawasan Gletarum. Teuku Ibrahim Lamnga merupakan suami pertama Cut Nyak Dhien yang telah menikahinya semenjak umur 12 tahun. Cut Nyak Dien kemudian bersumpah hanya akan mendapatkan pinangan laki laki yang bersedia membantu untuk menuntut balas final hidup Teuku Ibrahim Lamnga.Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, sesudah sebelumnya Beliau dijanjikan untuk sanggup ikut turun di medan peperangan jikalau bersedia mendapatkan lamaran tersebut. Dari ijab kabul dengan Teuku Umar ini, Cut Nyak Dhien mempunyai seorang anak yang diberi nama Cut Gambang.
Teuku Umar ialah kemenakan ayahnya, seorang pejuang Aceh yang cukup disegani oleh Belanda. Sejak ketika itu, Cut Nyak Dhien selalu berjuang Bersama suaminya. Dalam usaha menghadapi Belanda, Teuku Umar bersiasat dengan berpura pura bekerja sama dengan Belanda untuk memperoleh pasokan senjata dan amunisi serta perlengkapan perang lainnya. Sementara itu di satu sisi, Cut Nyak Dhien tetap berjuang melawan Belanda di kampung halaman Teuku Umar.
Teuku Umar balasannya kembali bergabung dengan para pejuang Aceh lainnya dengan membawa persenjataan dan amunisi yang didapatkan dari Belanda, dan melancarkan pemberontakan melawan Belanda.
Pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur dalam sebuah pertempuran di Meulaboh, namun Cut Nyak Dhien tetap melanjutkan perjuangannya dengan bergerilya bersama pasukan kecilnya di hutan-hutan. Cut Nyak Dhien tidak pernah mau berdamai dengan Belanda yang disebutnya kapheer (kafir).
Cut Nyak Dhien Melanjutkan Perjuangan Melawan Belanda
Perjuangan yang berat dengan cara gerilya keluar masuk hutan menimbulkan kondisi pasukan dan kesehatan dirinya menurun. Cut Nyak Dhien terkena encok dan rabun pada matanya. Hal ini menciptakan seorang dari salah satu pasukannya merasa iba, dan kemudian melaporkan posisi keberadaan Cut Nyak Dhien kepada Belanda dengan persyaratan Cut Nyak Dhien harus diperlakukan dengan terhormat, bukan sebagai penjahat perang. Belanda pun menyetujuinya. Markas persembunyian Cut Nyak Dhien diserang dan Cut Nyak Dhien ditangkap.Cut Nyak Dhien mendapatkan perlakuan yang baik serta perawatan sehingga sakitnya berangsur sembuh. Keberadaan Cut Nyak Dhien yang dianggap masih memperlihatkan efek yang berpengaruh terhadap perlawanan rakyat Aceh serta hubungannya dengan beberapa pejuang Aceh yang belum tertangkap membuatnya kemudian diasingkan ke Sumedang.
Pada tanggal 6 November 1908 Cut Nyak Dhien meninggal dunia alasannya ialah usianya yang sudah lanjut di tempat pengasingannya di Sumedang, Jawa Barat. Pemerintah Republik Indonesia kemudian menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Cut Nyak Dhien menurut SK Presiden RI No.106/1964