Gambar: Logo Gerakan Literasoi Nasional (GLN) Kemendikbud |
Gambar: Maskot Gerakan Literasoi Nasional (GLN) Kemendikbud |
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tahun 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan sebuah gerakan besar, yaitu Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan ini merupakan implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 wacana Penumbuhan Budi Pekerti. Pemerintah menyadari bahwa setiap sekolah seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi siswa dan guru. Sekolah menjadi tempat nyaman kalau siswa, guru, dan tenaga kependidikan di sekolah membiasakan sikap dan sikap positif sebagai cerminan insan Pancasila yang berbudi pekerti luhur. Demikian juga halnya dengan lingkungan masyarakat. Pemerintah yang menjadi kepingan dalam pendidikan karakter bangsa merasa harus ikut ambil kepingan dalam gerakan ini bersama-sama dengan masyarakat membuat ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berorientasi penumbuhan kecerdikan pekerti.Budi pekerti ditumbuhkan dengan pembiasaan menerapkan nilai-nilai dasar kebangsaan dan kemanusiaan. Pembiasaan hal-hal baik yang ingin ditumbuhkan antara lain (1) internalisasi sikap moral dan spiritual dengan bisa menghayati kekerabatan spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan dengan sikap moral untuk menghormati sesama makhluk hidup dan alam sekitar, (2) keteguhan menjaga semangat kebangsaan dan kebinekaan, dan (3) penghargaan terhadap keunikan potensi siswa untuk dikembangkan dengan mendorong siswa gemar membaca dan mengembangkan minat yang sesuai dengan potensi dan bakatnya untuk memperluas cakrawala pengetahuan di dalam mengembangkan dirinya sendiri.
Sejalan dengan itu, jauh sebelum Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 ditetapkan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 4 (5) pun telah menyatakankan bahwa mencerdaskan bangsa dilakukan melalui pengembangan budaya baca, tulis, dan hitung bagi segenap warga masyarakat.
Untuk menumbuhkan kecerdikan pekerti dan untuk menjalankan amanat mencerdaskan bangsa, pada tanggal 18 Agustus 2015, pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan ini mengambil tema “Bahasa Penumbuh Budi Pekerti”. Untuk mewujudnyatakan gerakan pemerintah ini, diharapkan banyak pemberian dalam bentuk kegiatan senada. Oleh lantaran itu, dalam kaitan dengan kiprah bahasa sebagai penumbuh kecerdikan pekerti, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melaksanakan Gerakan Nasional Literasi Bangsa (selanjutnya disingkat GNLB) dengan tema “menciptakan ekosistem sekolah dan masyarakat berbudaya baca-tulis serta cinta sastra” dan dengan moto “mari menjadi bangsa pembaca” Gerakan ini dilakukan menurut pemahaman bahwa mencar ilmu tidak hanya dilakukan di sekolah.
Dengan dasar inilah kegiatan ini menjangkau tidak hanya siswa dan guru di sekolah, tetapi juga belum dewasa dan pegiat di komunitas baca. Selain itu, GNLB ini juga didasari kesadaran untuk meningkatkan indeks literasi sekolah anak Indonesia dan menimbulkan bangsa Indonesia sebagai bangsa pembaca.
1.2 Landasan Hukum
Landasan aturan yang mendasari kegiatan ini yaitu sebagai berikut.
- UUD 1945 amendemen Bab XV Pasal 36 wacana kedudukan bahasa Indonesia
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional
- Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 wacana Standar Nasional Pendidikan
- UU Nomor 24 Tahun 2010 wacana Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
- Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 wacana Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia
- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 wacana Penumbuhan Budi Pekerti
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan kegiatan GNLB dibagi ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus.Tujuan Umum
Secara umum kegiatan ini bertujuan membuat ekosistem sekolah dan masyarakat yang berbudaya baca-tulis serta cinta sastra.Tujuan Khusus
Kegiatan yang melibatkan sekolah dan komunitas baca ini bertujuan khusus membuat budaya literasi di sekolah dan budaya literasi masyarakat. Literasi sekolah bertujuan membuat ekosistem sekolah yang berbudaya baca-tulis. Literasi masyarakat bertujuan membuat lingkungan masyarakat yang berbudaya baca-tulis.1.4 Ruang Lingkup
Kegiatan GNLB pada tahun 2016 ini dilaksanakan di 34 provinsi di Indonesia bagi siswa kelas IV, V, dan VI pada sekolah dasar model dan juga bagi belum dewasa berusia 10 - 12 tahun yang tergabung dalam kelompok baca model.Dalam kegiatan ini kiprah serta guru sangat diharapkan untuk mengondisikan siswa nyaman dan bahagia membaca kisah bermuatan kecerdikan pekerti sebelum kelas dimulai. Di samping itu, kiprah serta orang tua, penggagas kelompok baca, pegiat literasi, atau fasilitator juga dibutuhkan untuk mengarahkan anak- anak membaca kisah bermuatan kecerdikan pekerti.
1.5 Manfaat
Kegiatan ini diharapkan tidak hanya memberi manfaat pada pembiasaan hal-hal yang akan menimbulkan sekolah dan masyarakat menjadi sekolah literasi dan masyarakat literasi tetapi juga pada penumbuhan budaya baca tulis. Manfaat ini akan tampak dalam beberapa hal berikut:- tersedianya materi literasi yang bersumber dari kearifan bangsa, yaitu materi literasi yang bersumber dari kisah rakyat di semua wilayah Indonesia;
- semakin banyak anak dengan kecerdikan pekerti yang terus tumbuh dengan tingkat literasi tinggi;
- semakin banyak guru/pengajar yang bisa menumbuhkan kecerdikan pekerti siswa/peserta didiknya lantaran tingkat literasinya pun mengalami peningkatkan;
- adanya sekolah dengan ekosistem literasi yang sanggup menjadi model bagi sekolah lainnya;
- adanya komunitas baca di masyarakat yang membangun budaya literasi sehingga komunitas baca itu menjadi model bagi komunitas baca lain dan masyarakat di tempat komunitas itu ada menjadi masyarakat yang berbudaya literasi; dan
- adanya kegiatan yang membantu siswa, anak-anak, guru, dan pegiat komunitas baca untuk mengembangkan pengalaman terbaik semoga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tinggi Literasinya.
BAB II KONSEP DAN PENDEKATAN
2.1 Konsep
2.1.1 Literasi
Secara umum, literasi sanggup diartikan sebagai keberaksaraan, yaitu kemampuan seseorang membaca dan menulis. Seseorang dikatakan literate apabila ia mempunyai pengetahuan dalam setiap kegiatan yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat. Pengetahuan yang diperoleh melalui membaca dan menulis sanggup dimanfaatkan bagi diri sendiri dan kemajuan bangsa.Budaya literasi merupakan kebiasaan berpikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca-menulis yang pada jadinya akan mengarah kepada cara berpikir kritis, cara pemecahan masalah, pengembangan ilmu pengetahuan, dan penciptaan suatu karya. Budaya literasi sanggup tumbuh lantaran di dalam kegiatan pembelajaran siswa diajak untuk menulis apa yang ia lihat, dengar, dan pikirkan sehingga muncul ide-ide yang selanjutnya sanggup dikembangkan menjadi bentuk literasi yang lebih tinggi.
Untuk membantu pengembangan literasi, ada tiga komponen yang beraksi secara dinamis dan berkelanjutan, yaitu motivasi, pembelajaran membaca- menulis, dan membaca-menulis mandiri. Tanpa adanya motivasi, pembelajaran membaca-menulis dan membaca-menulis berdikari terasa tidak berjiwa lantaran tidak ada pendorong atau penyemangat seseorang dalam mengembangkan literasinya. Begitu pula, tanpa pembelajaran membaca-menulis, motivasi dan membaca-menulis berdikari tidak akan terarah dengan baik.
2.1.2 Literasi Sekolah
Sekolah intinya merupakan tempat individu menuntut ilmu dalam ranah formal. Oleh lantaran itu, proses Literasi melalui kegiatan belajar-mengajar bahu-membahu telah terjadi di Sekolah. Literasi sekolah dalam kaitannya dengan GNLB memerlukan situasi yang dirancang dan dikondisikan.Tumbuhnya kecerdikan pekerti dalam diri siswa di sekolah sanggup terjadi kalau mereka menerima teladan dari banyak sekali sumber yang bisa menjadi idolanya. Idola yang akan mereka teladani itu bisa guru/tenaga pendidik/orang arif balig cukup akal yang ada di sekitar mereka. Idola atau tokoh yang mereka teladani itu juga bisa berupa tokoh di dalam kisah rakyat.
Siswa atau belum dewasa yang telah mengikuti gerakan literasi melalui pembiasaan membaca buku bacaan selain materi pelajaran selama lima belas menit sebelum pelajaran dimulai juga sanggup menjadi teladan dan idola bagi siswa dan belum dewasa lainnya. Siswa dan belum dewasa yang menjadi idola atau teladan tersebut yaitu siswa dan belum dewasa yang berada di dalam lingkungan yang positif dan terliterasi. Sekolah Literasi diharapkan menjadi tempat positif yang membuat generasi penerus yang berbudi pekerti luhur.
Untuk mewujudkan hal itu, diharapkan kolaborasi beberapa pihak, menyerupai kepala sekolah, guru, siswa, bahkan orang tua. Alokasi waktu untuk membaca lima belas menit sebelum kelas dimulai disosialisasikan oleh kepala sekolah. Sosialisasi tidak hanya kepada guru dan siswa, tetapi juga kepada orang bau tanah siswa. Pada pelaksanaannya, guru bertindak sebagai pendamping dan pengarah siswa, sedangkan orang bau tanah sebagai pendukung dan penggeraknya.
2.1.3 Literasi Masyarakat
Untuk mewadahi belum dewasa yang tidak bisa bersekolah semoga tetap sanggup menjadi generasi terliterasi, kegiatan GNLB menjangkau pula ranah luar sekolah, yaitu komunitas baca. Sebagaimana di sekolah, tumbuhnya kecerdikan pekerti dalam diri belum dewasa di komunitas baca juga sanggup terjadi kalau mereka menerima teladan dari banyak sekali sumber yang bisa menjadi idola bagi mereka. Tenaga pendidik, orang arif balig cukup akal yang ada di sekitar mereka, atau tokoh di dalam kisah rakyat dibangun menjadi idola mereka melalui kegiatan ini.Anak-anak yang telah mengikuti gerakan literasi ini akan menjadi pola bagi belum dewasa lainnya. Mereka diharapkan sanggup menularkan hal-hal positif yang diperolehnya dari proses literasi tersebut kepada anak- anak lain di sekitarnya. Untuk itu, perlu kiprah aktif banyak sekali pihak, menyerupai tokoh/pejabat setempat, pegiat atau penggagas kelompok baca, dan belum dewasa anggota kelompok baca, serta orang bau tanah mereka. Tokoh atau pejabat berwenang setempat menyosialisasikan kegiatan literasi ini dan penggagas kelompok baca mendampingi belum dewasa anggota kelompoknya untuk menjalani proses literasi ini. Sementara itu, orang bau tanah atau keluarga dari belum dewasa tersebut mendukungnya.
2.2 Pendekatan
GNLB menerapkan kegiatan utama, yaitu praktik membaca dan mengambil amanat karakter dan kecerdikan pekerti dari bacaan tersebut untuk diresapi dan diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkan hal itu, dilakukanlah pendekatan proses, yaitu bagaimana siswa di sekolah atau belum dewasa di komunitas baca bisa mengambil sari dari bacaan yang dibacanya hingga tumbuh karakter berbudi pekerti luhur pada diri mereka.Di dalam kegiatan utama GNLB terdapat pula tahapan pendekatan andragogi, yaitu pendekatan pendidikan, pelatihan, dan bimbingan sehingga iklim mencar ilmu yang dibangun mempertimbangkan konsep diri dan pengalaman mencar ilmu siswa/anak. Tahapan ini dilakukan dalam kegiatan training fasilitator literasi. Tujuannya yaitu semoga peserta training yang merupakan guru sekolah dasar dan penggagas literasi dari komunitas baca bisa membelajarkan literasi yang sempurna kepada siswa di sekolah dan belum dewasa di komunitas baca mereka.
2.2.1 Metode
Sebagaimana tujuan kegiatan ini, tantangan terkait literasi sekolah dan masyarakat yaitu bagaimana mewujudkan sekolah dan masyarakat sebagai sebuah ekosistem yang berbudaya baca-tulis dan cinta sastra. Budaya baca-tulis dan cinta sastra yang identik dengan mata pelajaran bahasa Indonesia, melalui kegiatan ini “dilepaskan” dari konteks itu dan dibiasakan dalam kegiatan sehari-hari mereka, bagi siswa di sekolah dilakukan melalui membaca lima belas menit sebelum kelas dimulai, sedangkan bagi belum dewasa di kelompok baca dilakukan dalam waktu yang lebih fleksibel.Dengan memakai buku materi asuh literasi yang telah disiapkan, guru atau penggagas kelompok baca melaksanakan pendampingan dan pengarahan kepada siswa/anak dengan kegiatan utama dalam hal ini yaitu merangsang kemauan membaca.
Membaca naratif merupakan salah satu kegiatan dalam kerangka GNLB ini. Membaca naratif sanggup dilakukan dengan beberapa bentuk praktik membaca menyerupai membaca lantang (reading aloud), membaca senyap (sustained silent reading), membaca bersama (shared reading), membaca terpandu (guided reading), dan membaca berdikari (independent reading).
Literasi juga menyangkut pada kegiatan menulis. Pada kegiatan ini, kegiatan meringkas teks dan mengonversi teks dilakukan tidak lepas dari buku materi asuh literasi yang menjadi pegangan utama. Meringkas teks dan mengonversi teks sanggup diwujudkan dengan menulis terpandu (guided writing). Dalam pengembangan ini diharapkan siswa/anak telah bisa memberi pola yang bermuatan kecerdikan pekerti luhur dari cerita-cerita rakyat dalam materi asuh literasi yang dibacanya tersebut.
2.2.2 Media
Kemajuan dalam teknologi informasi dan komunikasi memudahkan orang di mana pun dalam mengakses informasi dan berkomunikasi. Kemajuan ini juga dimanfaatkan dalam kegiatan GNLB.Bahan literasi yang dipakai pada umumnya yaitu buku cetak. Selain memakai buku cetak, GNLB juga akan memanfaatkan media digital untuk penyebarluasan materi literasi. Media digital dipakai semoga gampang dalam menyebarluaskan materi literasi. Namun, media literasi dalam format digital masih sangat terbatas.
Keterbatasan materi literasi dalam bentuk digital perlu ditindaklanjuti dengan mengalihmediakan buku- buku cetak yang tersedia ke dalam bentuk digital. Selain itu, semoga buku cetak (yang umumnya berupa kisah rakyat itu) sanggup dipakai sebagai media pembelajaran, pembuatan media pembelajaran menurut buku-buku tersebut perlu dilakukan, antara lain dalam bentuk video pembelajaran dan aplikasi android. Video pembelajaran akan membantu guru dan juga siswa untuk lebih memahami manfaat kisah rakyat dalam menumbuhkan kecerdikan pekerti. Aplikasi android akan membuat siswa atau belum dewasa lebih tertarik untuk terus membaca buku juga menulis sebagai tindak lanjutnya.
BAB III PETA JALAN LITERASI
3.1 Pelibatan Publik
Rendahnya indeks literasi (budaya baca-tulis) siswa Indonesia sebagaimana yang dilansir banyak sekali forum survei internasional yaitu persoalan bangsa. Oleh lantaran itu, ikhtiar menaikkan indeks literasi bangsa Indonesia, bukan hanya urusan orang perorangan atau institusi tertentu. Diperlukan suatu gerakan masif yang melibatkan banyak sekali pihak yang berkepentingan dengan dunia pendidikan dalam upaya membangun budaya baca tulis. Oleh alasannya itu, GNLB tidak bisa hanya dilakukan oleh Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Pihak lain, baik perorangan maupun forum harus menjadi pelibat, menyerupai sekolah, dinas pendidikan di daerah, komunitas pegiat baca, perguruan tinggi, akademisi, sastrawan, dan duta bahasa. Pelibatan publik penting, tidak hanya untuk menimbulkan GNLB sebagai sebuah gerakan, tetapi juga membuat gerakan penumbuhan budaya baca-tulis (budaya literasi) ini menjadi kesibukan dan perhatian banyak sekali komponen bangsa.3.2 Pemodelan, Penguatan, dan Peluasan
GNLB dilaksanakan Pusat Pembinaan bersama 30 Balai dan Kantor Bahasa, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam kurun waktu empat tahun, 2016 - 2019. Tahun 2016 yaitu tahun pemodelan dengan mengambil satu sekolah dasar dan satu komunitas pegiat baca di 34 provinsi di Indonesia sebagai percontohan. Di simpulan tahun 2016, GNLB dievaluasi untuk keperluan penguatan dan peluasan dalam rentang waktu 2017 - 2019.Secara skematis, empat tahun pelaksanan GNLB sebagai gerakan penumbuhan budaya literasi di sekolah dan masyarakat dengan fokus sekolah dasar dan komunitas pegiat baca, sanggup dibaca pada ragaan 1 berikut.
Gambar Ragaan 1. Peta jalan Pelaksanaan GNLB Sumber: gln.kemdikbud.go.id |
Ragaan 1 wacana peta jalan di atas memperlihatkan bahwa GNLB mengikuti tiga tahap dan empat langkah. Langkah penyediaan materi literasi dan training fasilitator yaitu langkah pertama dan kedua, sedangkan pembelajaran literasi yaitu langkah ketiga dan merupakan tahap pelaksanaan. Selanjutnya, olimpiade literasi nasional sebagai langkah keempat yaitu tahap penilaian dan tindak lanjut.
Hasil penilaian GNLB tahun 2016 memberi catatan bagi penguatan dan peluasan yang akan dilaksanakan pada tahun 2017 - 2019. Target-target penguatan dan peluasannya digambarkan dalam ragaan 2 berikut.
Gambar Ragaan 2. Target penguatan dan ekspansi GNLB Sumber: gln.kemdikbud.go.id |
3.3 Evaluasi
Setelah olimpiade literasi nasional yang mengambil tajuk ‘kampung literasi’ dilaksanakan, penilaian atas pelaksanaan GNLB tahun 2016 dilakukan. Evaluasi dimaksud mencakup (1) pernyiapan materi dan fasilitator literasi, (2) keefektifan model training calon fasilitator literasi, (3) pelaksanan pembelajaran literasi, (4) pelaksanaan olimpiade literasi nasional, (5) sinergi dalam pelibatan publik,dan (6) kemedaian pendanaan.Hasil penilaian atas enam komponen dimaksud akan memberi masukan penting bagi penguatan dan peluasan penyelenggaran GNLB di tahun 2017 untuk dilanjutkan tahun 2018 dan tahun 2019.
BAB IV BAHAN LITERASI
4.1 Penyediaan Bahan Literasi
Penyediaan materi literasi merupakan kepingan tidak sanggup dipisahkan dari GNLB. Dalam hal penumbuhan kecerdikan pekerti, pembiasaan yang dilakukan untuk potensi diri siswa/peserta didik secara utuh dengan pewajiban memakai lima belas menit sebelum kegiatan mencar ilmu dimulai untuk membaca buku selain buku pelajaran. Bahan bacaan yang tersedia ada banyak dan sangat beragam. Namun, tidak semua materi bacaan yang tersedia di toko buku atau yang telah dimiliki oleh siswa itu sejalan dengan tujuan gerakan literasi yang mengacu pada semangat penumbuhan kecerdikan pekerti. Agar sejalan dengan tujuan gerakan penumbuhan kecerdikan pekerti, materi bacaan selain buku pelajaran tersebut perlu disediakan.Penyediaan materi literasi yang akan dipakai untuk membuat budaya literasi di sekolah dan di masyarakat sanggup dilakukan dengan beberapa cara. Cara tersebut antara lain adalah:
- pemilihan materi bacaan yang sesuai dengan tujuan gerakan menurut buku yang kini ada di sekolah dan di masyarakat;
- penyelarasan buku berupa kisah rakyat yang kini ada di sekolah dan masyarakat dengan tujuan penumbuhan kecerdikan pekerti; untuk itu diadakan penulisan ulang buku yang bersumber dari kisah rakyat; dan
- penulisan kisah rakyat yang mencerminkan nilai-nilai positif sehingga sanggup mendukung dan menyukseskan GNLB untuk menumbuhkan kecerdikan pekerti.
Penyediaan materi literasi ini akan menghasilkan contoh/model materi bacaan. Bahan bacaan itu akan hingga kepada pembaca atau penggunanya dalam media buku dan media lain yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
4.1.1 Jenis
Secara umum, dalam imbauan membaca lima belas menit sebelum kelas dimulai terdapat ketentuan buku yang dipakai yaitu buku nonpelajaran yang bermuatan positif. Buku-buku itu sanggup berupa majalah, buku cerita, komik, novel, dan sebagainya.Pada kegiatan GNLB tahun 2016, jenis buku yang dijadikan materi literasi yaitu buku kisah rakyat. Buku- buku tersebut diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
4.1.2 Isi
Gerakan Literasi Sekolah didasari semangat penumbuhan kecerdikan pekerti. Bahan literasi yang disusun akan disebarluaskan kepada masyarakat melalui sekolah dan komunitas baca. Bahan literasi tersebut haruslah berisi hal positif atau hal yang menimbulkan pembacanya positif sehingga kecerdikan pekerti terus tumbuh. Dengan demikian, materi literasi yang tersedia hendaknya berisi hal yang sejalan dengan landasan GNLB, yaitu penumbuhan kecerdikan pekerti.Budi pekerti yaitu tingkah laris atau perangai yang positif yang membawa kebaikan dalam kehidupan. Budi pekerti ini menjadi dasar dalam etika, tata krama, sikap dalam bekerjasama dengan sesama manusia, belajar, dan dalam bekerja. Berdasarkan asal katanya, kecerdikan pekerti dimaknai sebagai perbuatan atau tingkah laris yang didasari pikiran yang baik. Jadi, secara umum, segala hal yang berkaitan dengan perbuatan atau tingkah laris yang didasari pemikiran yang baik harus menjadi isi materi literasi.
Secara khusus, menurut Permendikbud wacana Penumbuhan Budi Pekerti, materi literasi harus berisi nilai-nilai dasar kebangsaan dan kemanusiaan. Isi tersebut memampukan siswa/anak-anak memiliki/bertindak untuk:
- internalisasi sikap moral dan spiritual, yaitu bisa menghayati kekerabatan spiritual dengan Sang Pencipta yang diwujudkan dengan sikap moral untuk menghormati sesama mahluk hidup dan alam sekitar;
- keteguhan menjaga semangat kebangsaan dan kebhinnekaan untuk merekatkan persatuan bangsa, yaitu bisa terbuka terhadap perbedaan bahasa, suku bangsa, agama, dan golongan, dipersatukan oleh keterhubungan untuk mewujudkan tindakan bersama sebagai satu bangsa, satu tanah air dan berbahasa bersama bahasa Indonesia;
- interaksi sosial positif antara peserta didik dengan figur orang arif balig cukup akal di lingkungan sekolah dan rumah, yaitu bisa dan mau menghormati guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, warga masyarakat di lingkungan sekolah, dan orang tua;
- interaksi sosial positif antarpeserta didik, yaitu kepedulian terhadap kondisi fisik dan psikologis antarteman sebaya, adik kelas, dan abang kelas;
- memelihara lingkungan sekolah, yaitu melaksanakan gotong-royong untuk menjaga keamanan, ketertiban, kenyamanan, dan kebersihan lingkungan sekolah;
- penghargaan terhadap keunikan potensi peserta didik untuk dikembangkan, yaitu mendorong peserta didik gemar membaca dan mengembangkan minat yang sesuai dengan potensi bakatnya untuk memperluas cakrawala kehidupan di dalam mengembangkan dirinya sendiri; dan
- penguatan kiprah orang bau tanah dan unsur masyarakat yang terkait, yaitu melibatkan kiprah aktif orang bau tanah dan unsur masyarakat untuk ikut bertanggung jawab mengawal kegiatan pembiasaan sikap dan sikap positif di sekolah.
4.1.3 Reproduksi Teks
Cerita yang dimiliki oleh rakyat Indonesia yang diturunkan secara verbal secara bebuyutan telah menjadi salah satu media yang dipakai oleh nenek moyang kita untuk menanam dan menumbuhkan kecerdikan pekerti kepada anak-cucunya. Cerita rakyat itu sebagian telah dituliskan, sebagian lagi masih berkembang secara verbal di masyarakat dan belum dituliskan dan dibukukan.Upaya menuliskan kisah verbal menjadi salah satu langkah yang dilakukan Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam kegiatan GNLB ini. Di samping itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (sejak berjulukan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kemudian Pusat Bahasa) telah menghasilkan ratusan buku kisah rakyat. Tidak semua kisah rakyat ditulis dengan sasaran pembaca yang khusus dan dengan tujuan khusus tertentu. Oleh lantaran itu, diharapkan penelaahan untuk mengetahui kesesuaian kisah rakyat itu dengan tujuan GNLB ini. Ketidaksesuaian kisah rakyat yang ada dengan penumbuhan kecerdikan pekerti ditindaklanjuti dengan penulisan ulang atau reproduksi kisah rakyat. Penulisan ulang terutama dilakukan oleh penulis yang sama, tetapi dengan kriteria yang sesuai dengan pembiasaan positif dalam penumbuhan kecerdikan pekerti.
4.2 Kriteria Bahan Literasi
Bahan literasi berupa kisah rakyat yang dipakai dalam kegiatan GNLB ini mempunyai kriteria tertentu. Kriteria tersebut diadaptasi dengan tujuan pelaksanaan kegiatan ini. Hal itu diuraikan pada subbab berikut.4.2.1 Jenjang Pendidikan
Bahan literasi berupa buku kisah rakyat disusun menurut jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA. Perbedaan antara ketiganya yaitu pada muatan isi dan jumlah halaman. Muatan isi dalam hal ini diadaptasi dengan perkembangan jiwa siswa atau anak seusia SD, SMP, dan SMA. Adapun jumlah halaman buku kisah rakyat untuk SD yaitu 30 halaman, untuk Sekolah Menengah Pertama yaitu 45 halaman, dan untuk Sekolah Menengan Atas yaitu 60 halaman.4.2.2 Materi Bacaan
Cerita rakyat yang merupakan materi bacaan dalam kegiatan GNLB ini mengandung karakter dan kecerdikan pekerti tokoh-tokohnya. Hal itu diharapkan bisa memengaruhi pembacanya sehingga terbentuk pula karakter dan kecerdikan pekerti yang baik pada mereka.Dalam buku-buku tersebut juga terkandung salah satu dari empat tema utama, yaitu tokoh, sejarah, tempat, dan alam. Tema tokoh, contohnya Malin Kundang; tema sejarah, contohnya Sejarah Klenteng Ancol; tema tempat, contohnya Keajaiban Sumur Tujuh; dan tema alam, contohnya Asal-Usul Pohon Kayu di Bali.
4.3 Penyusunan Bahan Ajar Literasi
Dalam kaitannya dengan implementasi Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015, kegiatan membaca lima belas menit oleh siswa di sekolah atau belum dewasa di komunitas baca memerlukan pendampingan. Pendampingan tersebut dilakukan oleh guru dan atau penggagas kelompok baca. Oleh lantaran itu, diharapkan materi khusus, yaitu berupa materi asuh literasi. Bahan tersebut dimanfaatkan semoga tujuan kegiatan membaca lima belas menit sebelum kelas dimaulai itu sanggup tercapai.Adapun bentuk-bentuk materi asuh literasi yaitu sebagai berikut.
1. Buku kisah rakyat yang dilampiri dengan lampiran yang menyatu dengan buku kisah rakyat pada halaman belakang. Lampiran tersebut berisi tiga butir pertanyaan yang menggugah siswa/anak untuk menemukan karakter dan kecerdikan pekerti yang dibangun dalam cerita.
2. Buku hasil kerja siswa/anak yang memperlihatkan rekaman kegiatan membaca siswa/anak dari hari ke hari.
4.4 Pengalihmediaan Bahan Literasi
Teknologi yang semakin berkembang memungkinkan dibuatnya bermacam-macam media literasi. Bahan kisah rakyat tidak saja dicetak dalam bentuk buku, tetapi juga sanggup dialihmediakan ke dalam bentuk lain, yaitu buku elektronik dalam aplikasi android serta video animasi (tanpa narasi dan percakapan) untuk pembelajaran membaca dan menulis.BAB V PELATIH FASILITATOR DAN FASILITATOR LITERASI
5.1 Pelatih Fasilitator
Pelatih fasilitator berasal dari dosen yang berlatar belakang pembelajaran bahasa atau pembelajaran sastra dan sastrawan yang mempunyai pengalaman dalam training menulis. Pemilihan atau penetapan instruktur fasilitator menurut curriculum vitae atau riwayat keminatan akademik dan pengalaman dalam training atau pendampingan kegiatan yang berkaitan dengan proses kreatif membaca dan menulis.5.2 Fasilitator Literasi
Fasilitator literasi yaitu guru di sekolah dasar, guru di komunitas pegiat baca, dan duta bahasa yang dihasilkan oleh Badan Bahasa.5.3 Mekanisme Penyeleksian Fasilitator Literasi
Fasilitator literasi direkrut dari guru sekolah dan guru komunitas pegiat baca tempat kegiatan pembelajaran literasi serta duta bahasa dari provinsi. Mekanisme penerimaannya yaitu (1) meminta kepala sekolah dan komunitas pegiat baca mengusulkan satu guru yang dinilai kompeten, (2) kepala balai/kantor setempat menentukan dua duta bahasa yang pernah mewakili provinsi dan memutuskan satu guru komunitas baca, (3) pernyataan kesediaan dan komitmen calon fasilitator (guru di sekolah, guru di komunitas baca, dan duta bahasa) dalam bentuk tertulis dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai fasilitator dalam GNLB.5.4 Model Pelatihan Fasilitator
Oleh lantaran fasilitator literasi yaitu orang dewasa, training ini mengadopsi pembelajaran andragogi. Tiga ciri penting pembelajaran andragogi, yaitu (1) semua peserta training yaitu pembelajar, (2) instruktur yaitu fasilitator yang memfasilitasi, dan (3) training yaitu “proses mengalami bersama” pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan baru.Metodenya yaitu metode diskusi dan curah gagasan (brain storming), dengan teknik-teknik training yang dilaksanakan secara sekuensis (urut- waktu) sebagai berikut: (1) pengenalan teori wacana literasi dan orientasi teks materi ajar; (2) pemberian kiprah membaca teks (narasi) dengan cara meringkas, mengkonversi dan mengkonstrusi ulang; (3) menampilkan hasil dalam diskusi bersama peserta akomodasi untuk perbaikan dan pematangan hasil; dan (4) penyusunan materi literasi secara bersama bagi pelaksanaan pembelajaran literasi di sekolah dan komunitas.
Secara sekuensi, model training digambarkan dalam ragaan 3 berikut.
Gambar Sekuensi training calon fasilitator pelaksanaan GNLB Sumber: gln.kemdikbud.go.id |
BAB VI MEKANISME PELAKSANAAN
6.1 Pembelajaran Literasi
Setelah materi asuh literasi selesai disusun, pembelajaran literasi siap dilaksanakan. Namun, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa untuk menjalankan kegiatan lima belas menit membaca buku non-pelajaran sebelum kelas dimulai, diharapkan pendamping dari unsur guru atau penggagas kelompok baca. Untuk itu, perlu dilakukan serangkaian kegiatan yang mendukung pembelajaran literasi, yang diawali dengan training fasilitator literasi semoga mereka mempunyai pemahaman yang sama terhadap pembelajaran literasi.6.1.1 Pelatihan Fasilitator Literasi
Pelatihan fasilitator literasi yang dimaksud yaitu training kepada guru atau penggagas kelompok baca. Pelatihan ini bertujuan memahamkan mereka bagaimana penerapan GNLB ini di sekolah dan komunitas baca. Peserta pada training ini terdiri atas guru, penggagas kelompok baca, dan duta bahasa yang berasal dari 34 provinsi di Indonesia.Materi yang diberikan pada training ini mencakup materi membaca naratif, meringkas teks, konversi teks, dan bermain peran. Materi tersebut diberikan oleh pakar dari universitas, sastrawan, dan narasumber dari Badan Bahasa.
6.1.2 Pembelajaran Literasi
Pembelajaran literasi mengandung materi membaca naratif, meringkas teks, konversi teks, dan bermain peran. Membaca naratif, menyerupai telah dikemukakan di atas, sanggup memakai beberapa teknik. Pertama, membaca lantang. Dalam hal ini fasilitator literasi sanggup memakai bacaan yang terdapat dalam buku tersebut dan membacakannya dengan bunyi keras dan intonasi yang benar sehingga setiap siswa sanggup mendengarkan dan menikmati ceritanya.Kedua, membaca senyap. Pada membaca senyap, fasilitator literasi memperlihatkan kebebasan kepada siswa untuk menentukan materi bacaan yang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri sehingga mereka sanggup menuntaskan membaca bacaan tersebut. Kemudian, fasilitator literasi memberi pola sikap membaca dalam hati yang baik sehingga siswa/anak sanggup meningkatkan kemampuan membaca dalam hati untuk waktu yang cukup lama. Ketiga, membaca bersama. Pada membaca bersama, terdapat tiga hal yang sanggup dilakukan. Pertama, fasilitator literasi sanggup membaca dan siswa/anak mengikutinya. Kedua, fasilitator literasi membaca dan siswa/anak menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku. Ketiga, siswa/anak membaca bergiliran. Sementara itu, pada membaca terpandu, semua siswa membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Fasilitator literasi memberikan pertanyaan yang juga sudah ada dalam buku materi asuh literasi itu dan meminta siswa/anak menjawabnya.
Terakhir, membaca mandiri. Pada membaca mandiri, siswa/anak bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga kiprah fasilitator literasi kini menjadi seorang pengamat, fasilator, dan pemberi respon.
Di samping membaca naratif, diberikan pula teknik konversi teks dan meringkas teks. Kedua hal itu termasuk ke dalam menulis terpandu, kiprah fasilitator literasi yaitu sebagai fasilator yang membantu siswa/anak menemukan apa yang ingin ditulisnya dari buku kisah yang dibacanya dan bagaimana menuliskannya kembali dengan jelas, sistematis, dan menarik. Fasilitator literasi bertindak sebagai pendorong dan pemberi saran.
Pembelajaran bermain kiprah dilakukan dalam rangka mempraktikkan apa yang ada dalam kisah rakyat itu ke dalam pertunjukan panggung sandiwara. Fasilitator literasi mengarahkan siswa/anak untuk membentuk kelompok dan berlatih memerankan tokoh-tokoh dan memainkan kisah rakyat tersebut dalam pementasan. Dari situ diharapkan siswa/anak makin mengerti muatan kecerdikan pekerti dalam sebuah cerita.
6.1.2.1 Pembelajaran Literasi di Sekolah Model
Sekolah model yaitu sekolah yang dibina untuk melaksanakan pembelajaran literasi. Dari sekolah model ini diharapkan pada masa mendatang sanggup pula terealisasi kegiatan serupa di sekolah-sekolah lain. Komponen yang terlibat di sini yaitu kepala sekolah, guru, siswa, dan orang bau tanah dengan kiprah masing-masing.
Pembelajaran literasi yang dilakukan di sekolah model, sebagaimana dijelaskan di atas, berisi materi membaca, menulis, dan bermain peran. Materi itu disampaikan oleh guru dengan cara pendampingan kepada siswa. Pada jadinya diharapkan tumbuh kebiasaan membaca yang akan meningkatkan potensi diri dan akan menumbuhkan kecerdikan pekerti pada diri siswa.
6.1.2.2 Pembelajaran Literasi di Komunitas Model
Komunitas baca model yaitu komunitas baca yang dibina untuk melaksanakan pembelajaran literasi di masyarakat. Komunitas baca model ini diharapkan mencetak belum dewasa berkarakter kecerdikan pekerti luhur dengan kebiasaan membaca. Sejalan dengan pembelajaran literasi sekolah model, Pembelajaran literasi yang dilakukan di komunitas baca model, juga berisi materi membaca, menulis, dan bermain peran. Materi itu disampaikan oleh penggagas komunitas baca dan duta bahasa dengan cara pendampingan kepada anak-anak.
6.2 Olimpiade Literasi Nasional
Olimpiade dimaknai dengan pertandingan. Awalnya, olimpiade dilakukan sebatas pada olahraga, tetapi penggunaannya kemudian meluas. Muncullah olimpiade sains, olimpiade fisika, olimpiade matematika, olimpiade geografi, dan sebagainya. Pada tahapan puncak kegiatan GNLB, diadakan kegiatan Olimpiade Literasi Nasional di sebuah Kampung Literasi.Olimpiade literasi ini bersifat nasional lantaran diikuti oleh wakil dari 34 provinsi di seluruh Indonesia. Wakil- wakil tersebut yaitu guru dan siswa`yang berasal dari 34 sekolah dasar model serta penggagas baca dan seorang anak usia 10—12 tahun yang berasal dari 34 komunitas baca model. Selain peserta dan panitia, komponen yang terlibat dalam olimpiade ini mencakup narasumber dari unsur pendidik, sastrawan, seniman seni peran, dan dari Badan Bahasa.
Ada beberapa kegiatan dalam Olimpiade Literasi Nasional ini, yaitu lomba membaca naratif, lomba meringkas teks, lomba mengonversi teks, lomba bermain peran, dan ada pula klnik literasi.
6.2.1 Lomba Membaca Naratif
Lomba membaca naratif dalam hal ini yaitu lomba membaca cerita. Peserta diminta tampil membaca kisah dengan sumber kisah rakyat dari derah masing- masing. Jika ada, peserta boleh membawa kelengkapan yang dipersiapkan oleh masing-masing peserta untuk mendukung pembacaan ceritanya itu.Lomba membaca naratif ini diadakan khusus untuk siswa/anak.
Bagan Penilaian Lomba Membaca Naratif
Gambar Bagan penilaian lomba membaca naratif pelaksanaan GNLB Sumber: gln.kemdikbud.go.id |
6.2.2 Lomba Meringkas Teks
Yang dilakukan dalam lomba meringkas teks yaitu menulis ulang sebuah kisah dengan lebih ringkas. Tentu hal ini diawali dengan membaca dan memahami isinya, kemudian menuangkannya kembali dengan bahasa sendiri dan dalam jumlah kata yang jauh lebih sedikit dari aslinya.Pada kegiatan ini, peserta diberi buku yang berbeda dari tempat asalnya, kemudian diberi waktu untuk membaca, dan dilanjutkan dengan membuat ringkasan. Kegiatan ini diikuti oleh guru, penggagas kelompok baca dan juga siswa/anggota kelompok baca.
Bagan Penilaian Lomba Meringkas Teks
Gambar Bagan penilaian meringkas teks sumber: gln.kemdikbud.go.id |
6.2.3 Lomba Konversi Teks
Lomba lainnya yang digelar pada Olimpiade Literasi Nasional yaitu konversi teks. Para peserta diminta membaca sebuah buku kisah untuk kemudian menghasilkan teks gres dengan cara merekonstruksi dan mengonversi teks kisah rakyat menjadi teks gres dengan genre yang berbeda. Lomba konversi teks ini hanya diikuti oleh guru, penggagas kelompok baca, dan duta bahasa. Bagan Penilaian Konversi Teks
6.2.4 Lomba Bermain Peran
Bermain kiprah atau sandiwara merupakan salah satu kegiatan yang dilombakan dalam Olimpiade Literasi nasional ini. Pada lomba ini, peserta dikelompokkan menjadi enam kelompok, yaitu dua kelompok mewakili wilayah Indonesia kepingan Barat, dua kelompok mewakili wilayah Indonesia kepingan Tengah, dan dua kelompok mewakili wilayah Indonesia kepingan Timur. Tiap-tiap kelompok terdiri atas guru, penggagas kelompok baca, siswa, dan belum dewasa dari kelompok baca. Tiap-tiap kelompok itu dilatih untuk memainkan sandiwara yang mengangkat kisah dari tiga wilayah Indonesia tersebut. Cerita telah ditentukan sebelumnya oleh panitia. Bagan Penilaian Lomba Bermain Peran